Friday, January 8, 2010

By The River Piedra I Sat Down And Wept [39-41]

Kadang-kadang serbuan perasaan sedih menyergap kita, ia berkata. Kita menyadari saat magis hari itu telah berlalu dan kita tidak melakukan apa-apa mengenainya. Dan hidup pun mulai menyembunyikan keajaiban dan keindahannya.
Kita harus mendengarkan kanak-kanak yang masih ada dalam diri kita sampai sekarang. Kanak-kanak itu memahami saat-saat magis. Kita bisa membungkam tangisnya, namun kita tidak bisa mengenyahkan suaranya.
Diri kanak-kanak kita yang dulu masih ada. Diberkatilah kanak-kanak, karena merekalah yang empunya kerajaan Surga.
Jika kita tidak dilahirkan kembali --jika kita tidak bisa belajar memandang kehidupan dengan keluguan dan antusiasme kanak-kanak-- tak ada artinya untuk terus hidup.
Ada banyak cara untuk bunuh diri. Orang-orang yang mencoba membunuh raga melanggar aturan Tuhan. Yang mencoba mencoba membunuh jiwa juga melanggar aturan Tuhan, meskipun kejahatan yang mereka lakukan tidak senyata yang pertama.
Kita harus memperhatikan apa yang dikatakan kanak-kanak di dalam hati kita. Kita tidak boleh merasa malu dengan keberadaannya. Kita tidak boleh membiarkan kanak-kanak ini takut, karena ia sendirian dan nyaris tak pernah didengarkan.
Kita harus mengizinkan kanak-kanak ini mengendalikan kehidupan kita. Kanak-kanak ini tahu bahwa setiap hari berbeda dengan hari lain.
Kita harus mengizinkannya merasa dicintai. Kita harus membuatnya bahagia --meskipun itu berarti perilaku kita berbeda dan bagi orang lain kelihatan konyol.
Ingatlah bahwa di mata Tuhan, kebijakan adalah kegilaan. Namun kalau kita mendengarkan kanak-kanak yang tinggal dalam jiwa kita, mata kita akan bercahaya . Jika kita tidak kehilangan kontak dengan kanak-kanak itu, kita tidak akan kehilangan kontak dengan kehidupan. 
[hal 39-41, Indonesi Version]


'By The River Piedra I Sat Down And Wept' by Paulo Coelho

No comments: